Nyemplung di Kuah Pucung

Untuk ulang tahun Jakarta, rasanya tepat jika kita mengudap menu khas Betawi. Sayur asam, ikan goreng, sop kaki, soto betawi, atau ketupat sayur, sudah pasti sangat akrab di lidah. Lama-kelamaan malah bisa bosan kalau menyantap menu seperti itu. Nah, sebagai selingan, cobalah bertandang ke warung Haji Nasun di pelosok Srengseng Sawah.

Berkunjung di warung Haji Nasun ini serasa beranjangsana ke rumah Pak Haji. Lokasinya di pinggir Jakarta menciptakan suasana pedesaan Betawi. Setiap orang yang datang, langsung disambut jabat tangan akrab oleh Pak Haji. Ah, kaki jadi makin mantap saja melangkah ke dalam. Warungnya berkapasitas 30 orang, dilengkapi meja kayu. Di atas setiap meja sudah tersedia satu toples kerupuk, pisang, satu bakul lalap yang terdiri dari daun pepohonan, selada, kemangi, serta ketimun. Tak ketinggalan sepiring sambal.

Nah, kendati di sini jelas-jelas memajang tulisan warung khas Betawi, Anda jangan mencari sayur asam khas Betawi. Soalnya, Haji Nasun tidak menyediakan sayur tersebut. Kalau ikan goreng pengiring sayur asam, bolehlah dipesan. Soalnya, hidangan ikan goreng menjadi andalan Haji Nasun. “Pengunjung paling suka ikan goreng. Gurame dan gabus, dengan sayur pecak atau pucung,” jelas Haji Nasun.

Benar. Ada yang menarik dari sajian Haji Nasun. Di etalase warungnya bertumpuk-tumpuk ikan air tawar yang sudah digoreng. Pilihannya beragam. Ada ikan gurame, ikan mas, gabus, dan tawes. Lantas, di bawahnya, tampak dua wajan besar penuh berisi sayur berkuah. Itulah yang disebut Haji Nasun sebagai sayur pucung dan sayur pecak.

Pucung adalah sebutan untuk biji keluak. Jadi, sayur pucung atau sayur keluak ini berpenampilan mirip rawon, khas Jawa Timur. “Bolehlah kalau harus disebut rawon,” tutur Haji Nasun. Rasanya mirip rawon, karena menurut dia, bumbunya persis bumbu rawon. Jika rawon terdiri dari potongan daging, sayur pucung berisi irisan wortel, kol, dan daun seledri.

Adapun sayur pecak lebih mirip kuah bumbu rujak, berwarna kuning dengan santan pekat. Kuah santan tersebut dimasak dengan bumbu kunyit, kemiri, kacang tanah, bawang merah dan bawang putih, kencur, jahe, serta garam. Kendati banyak warung yang menjual sayur serupa, menurut Haji Nasun, rasa sayur pecak di warungnya ini boleh diadu. “Orang lain kagak bisa ngikutin. Kita kan pakai bumbu mede segala,” kilahnya.

Pembeli bisa memesan jenis ikan goreng yang diinginkan. Lantas, Haji Nasun akan menceburkan ikan pesanan itu ke salah satu sayur, pucung atau pecak, sesuai dengan permintaan. Setelah diceburkan, ikan dihidangkan dalam piring seraya diberi sedikit kuah sayur. Pelengkapnya adalah bawang goreng dan jeruk nipis. Tentu saja, sepiring nasi hangat. “Sudah sedap itu!” Haji Nasun berpromosi.

Nasun bandar ikan tawes

Selain beragam ikan yang dicelup sayur, menu andalan Haji Nasun adalah sop daging ala Betawi. Pak Haji mengaku tidak menggunakan tulang untuk membuat kaldu sop. “Makanya warung saya enggak ada lalat,” ujarnya. Selain membikin warungnya bersih, kaldu tanpa tulang menciptakan kuah sop yang bening. Biarpun Pak Haji mencemplungkan berbagai elemen sop, seperti wortel dan daun bawang, tetap saja kuah bening itu tidak terusik. Rasanya, tentu saja mantap.

Sop daging ala Haji Nasun ini punya cerita sendiri. Alkisah, dulu dia hanya pedagang sayur di Pasar Manggarai. Karena pasar tempatnya berjualan dipindahkan ke Pasar Rumput, Nasun pun lantas memilih membuka warung sayur sendiri di rumah. Suatu kali, Nasun dan istrinya jajan sop daging di daerah Cipanas. Lama ketika sudah kembali ke rumah, rasa sop yang nikmat itu masih terus terbayang. Rasa itulah yang membuat Nasun berpikir untuk pindah haluan, dari pedagang sayur-mayur, menjadi pedagang makanan.

Bermodal Rp 130.000, tahun 1982, suami istri Nasun membuka warung makan di rumah mereka di Srengseng. Menunya sop daging. Kebetulan pada saat yang sama, Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN) mulai dibuka. “Banyak anak ISTN yang makan di sini,” ujar Haji Nasun. Warung itu mulanya tidak bernama. Oleh mahasiswa pelanggannya, warung Nasun dinamai Warung Sop Daging Sapi Aneka Tahu. Maklum, waktu itu Nasun menyediakan aneka olahan tahu, seperti pepes tahu, goreng tahu, rendang tahu, dan semur tahu.

Makin hari, warung Nasun kian dikenal. “Mulai ramai sejak saya membuat ikan gurame,” ujar Haji Nasun. Tak lama setelah menyediakan menu daging, Nasun pun berpikir membuat olahan ikan air tawar. Terutama, yang menjadi andalan Nasun kala itu, adalah ikan tawes. “Makanya, saya disebut Nasun Bandar Ikan Tawes,” katanya.

Kendati menganggap andalannya ikan tawes, buktinya banyak pengunjung memesan ikan gurame pada dirinya. Jadi, andalan Haji Nasun pun berubah menjadi ikan gurame dan sop daging. Dengan begitu, pasokan ikan gabus dan tawes yang tidak menentu bukanlah menjadi penghalang bagi bisnisnya. “Pokoknya, paling enggak ada sop daging dan ikan gurame,” katanya. Tentu saja, yang tidak boleh ketinggalan adalah sayur pucung dan sayur pecak.

Pedagang yang suka ngilang

Nah, para pengunjung di warung Haji Nasun sudah pasti mengincar ikan cebur sayur ini. Walau Haji Nasun memajang sayur pucung dan pecaknya di etalase warung, jangan khawatir, dia selalu berusaha menjaga agar sayurnya tidak dingin. “Sayur pucung ini harus selalu panas supaya nikmat,” katanya. Alhasil setiap kali sayur mendingin, Haji Nasun buru-buru menaruh wajan besar itu di atas kompor minyaknya.

Sampai sekarang Haji Nasun memang masih setia menggunakan kompor minyak. Bukannya dia tidak mampu membeli kompor gas yang lebih modern. Tapi, “Kalau pakai kompor gas pasti akan kematengan, kalau pakai kompor minyak bisa tenang dia,” jelas Haji Nasun panjang lebar. Bukan cuma untuk sayur, Haji Nasun juga menggoreng ikan dengan kompor minyak. Pasalnya, kompor gas hanya akan menghasilkan ikan yang matang di luar, sedang bagian dalamnya kurang tanak.

Setiap hari, Haji Nasun membuka warungnya dari pukul 10.00 hingga 14.00. Tak ayal, ikan sayurnya menjadi incaran ketika jam makan siang. Tapi, “Saya suka dibilang kalau dagang suka ngilang,” tutur Haji Nasun. Pasalnya, kerap sebelum pukul 14.00 Haji Nasun sudah menutup warungnya lantaran dagangan licin tandas. Jadi, “Biar masih di jalan, pelanggan suka nelpon pesan dulu biar enggak kehabisan,” sambungnya.

Bila Anda berminat mencicipi ikan sayur Haji Nasun, jangan kaget dengan rekan pembeli yang bebas berseliweran sampai masuk ke dalam rumah. Karena kapasitas warungnya hanya untuk 30 orang, Haji Nasun sering menggelar tikar di teras untuk menampung pembeli. “Kadang ada yang asal masuk, makan di dapur, ya terserah. Saya seneng saja kalau warung ramai,” ujar Haji Nasun yang dalam sehari menghabiskan sekitar 40 kilogram ikan ini.

Harga makanan di warung Haji Nasun beragam, tergantung jenis ikan dan ukurannya. Paling mahal adalah ikan gurame berukuran besar, mencapai Rp 25.000 seporsi lengkap dengan nasi dan sayur. Ikan tawes yang durinya banyak, dijual dengan harga Rp 15.000. Adapun seporsi ikan gabus dijual Rp 15.000 sampai Rp 25.000.

Bisa dibayangkan omzet warung Haji Nasun. Biarpun begitu, dia tak berminat mendandani warungnya menjadi restoran Betawi modern. Pasalnya, menurut Haji Nasun, salah seorang pembeli pernah bilang bahwa makanan di warungnya tidak mahal. “Dia kasih ide supaya jangan mengubah tampilan warung, supaya orang kecil dan orang gede bisa beli di sini,” paparnya.

Ikan Hidup untuk Pak Haji

Banting setir dari pedagang sayur menjadi penjaja menu ikan, seperti Haji Nasun, bukanlah hal yang mudah. Soalnya, pasokan ikan air tawar kadang tidak menentu. Maklum saja, warung Haji Nasun menyediakan hampir semua jenis ikan. Sebutlah ikan mas, gurame, tawes, dan gabus. “Yang kadang tidak ada itu gabus dan tawes. Kalau gurame selalu ada,” jelas Haji Nasun.

Supaya etalase warung selalu dipenuhi ikan, yang menjadi menu favorit para pengunjungnya, Haji Nasun pun memelihara ikan sendiri. Yang penting, gurame selalu tersedia. Pasalnya, ikan gurame selalu bisa menjadi silih jika ikan jenis lain kebetulan sedang tidak ada.

“Waktu muda, sih, saya suka ke sana ke mari mencari ikan,” kenang Pak Haji. Sekarang, berhubung sudah berumur, Haji Nasun meminta pasokan ikan dari bandar. Namun, Haji Nasun selalu minta ikan hidup dari sang bandar. Semua itu demi kesegaran dan kelezatan jualannya di warung. “Ini kagak ngerepotin saya,” cetus Haji Nasun. Soalnya, selain diminta mengantarkan pesanan ikan hidup sampai ke rumah, sang bandar pula yang akan membersihkan dan menggarami seluruh ikan hidup pesanan Pak Haji. Akur, dah, Pak Haji!

2 responses to “Nyemplung di Kuah Pucung

  1. wohhh!! mantebz!! kapan liputan di jogja?? tak tunggu!!

  2. Pingback: Sayur Gabus Pucung Makanan Favorit Orang Bekasi | bloggerbekasi.com

Leave a comment