Rasanya Garangdan Bikin Kesengsem

Saat capek bekerja, nikmat rasanya jika rehat sebentar sembari menghabiskan makan siang dengan santapan berkuah dan menyegarkan. Banyak pilihannya: ada sop, sayur asem, soto, atau garang asem. Untuk sop, sayur asem, atau soto mungkin Anda sudah bosan. Nah, tidak ada salahnya jika Anda mencoba mencicipi garang asem. Garang asem ini dominan dengan wujud daun pisang dan belimbing wuluh (belimbing sayur).

Istilah garang asem ini terdiri dari dua kata, yakni garang yang berarti pedas dan asem yang merupakan campuran rasa kecut dan manis. Biasanya, orang mengolah ayam untuk sajian garang asem.

Tapi, ada pula garang asem yang dibikin dari daging sapi.

Di bilangan Manggarai, ada warung makan yang menyajikan santapan nikmat ini. Namanya Soto Kudus Asri. Warung ini terletak di belakang Pasaraya Manggarai, tepatnya di Jalan Padang Panjang, sebelah SPBU. Seperti yang lain, di Asri ini soto kudus-nya tersaji dengan mangkuk kecil.

Saat menyeruput kuahnya, rasa segar langsung menyeruak di rongga mulut. Jika ingin menambah kesegaran, Anda tinggal membubuhinya dengan perasan jeruk nipis yang tersedia di meja.

Taburan bawang putih yang digoreng garing menambah nikmat hidangan khas Jawa ini.

Jika lapar berat, semangkok soto kudus memang belum bisa memuaskan perut. Jika tak ingin menyantap soto lagi, Anda bisa memesan garang asem.

Ini adalah menu spesial di Soto Kudus Asri. Menurut Alfi ah, sang pemilik warung, selain soto kudus, garang asem buatannya juga sering dipesan pelanggan kedainya.

“Ini garang asem versi Kudus, lo.” ungkapnya berpromosi. Maklum, garang asem ini banyak sekali versinya (lihat boks: Satu Nama Banyak Versi).

Garang asem versi Kudus ini juga memakai daun pisang dan belimbing sayur. Jika mencicipi garang asem versi Kudus buatan tangan Alfiah, Anda pasti tidak akan berhenti pada suapan pertama.

Soalnya, spektrum rasa asem yang keluar dari belimbing sayur larut bercampur dengan pedas dari irisan cabe rawit. Alhasil, rasa segar akan dapat Anda nikmati sampai suapan terakhir.

Saat masuk ke dalam mulut, daging ayam tersebut langsung melorot dari tulangnya, “Ini memakai ayam negeri, jadi enggak alot kayak ayam kampung,” ungkap Alfi ah.

Sudah punya cabang di Kalibata

Alfi ah membocorkan rahasia bumbu dan cara pengolahan yang merupakan warisan keluarga.

Pertama, ayam yang sudah dipotong- potong dicampur dengan irisan belimbing sayur, tomat hijau, daun serai, bawang putih, bawang merah, cabe hijau, dan cabe rawit merah. Kemudian, semuanya dimasukkan ke dalam plastikdan ditambah dengan sedikit air. Sehabis itu baru dibungkus dengan daun pisang.

Setelah semuanya siap, Alfi ah lalu mengukusnya selama setengah jam. “Ngukus-nya jangan lama-lama biar ayamnya enggak hancur,” katanya. Setelah daun pisang kelihatan layu, api kompor ia kecilkan untuk menjaga agar garang asem tetap hangat.

Jika pelanggan kedai Asri siap menikmatinya, garang asem itu tinggal dia angkat dari kukusan; lantas dibuka. Maka, daun pisang yang semula berfungsi sebagai bungkus tadi akan berubah fungsi menjadi alas piring.

Ritual selanjutnya, garang asem dituang di atas daun pisang dan siap dihidangkan. Dalam setiap porsi, Alfi ah menyajikan 5 potong daging ayam dengan potongan sebesar bungkus korek api.

Jika daging ayam garang asem yang ada di piring sudah habis, tapi masih ada sisa kuah garang asem, Anda bisa mencomot otak sapi, ati ampela, atau sate paru sebagai gong buat menghabiskan kuah garang asem itu.

Untuk seporsi, Alfi ah menghargai garang asemnya Rp 9.500 saja.

Untuk soto, Anda hanya perlu merogoh kocek Rp 6.500. Untuk otak sapi, ati ampela, dan juga sate paru Anda hanya perlu mengeluarkan Rp 3.000.

Setiap hari Alfi ah menyiapkan sekitar 20 ekor ayam atau setara 20 kilogram buat memasak garang asem. “Satu porsi biasanya seperempat kilo,” ungkapnya.

Nah, berapa, ya, omzet yang didapat Alfi ah. Sayang, ia mengaku tak punya hitungan pasti. “Enggak tentu, sih, namanya juga warung kecil.” katanya merendah.

Meski begitu, Asri sudah membuka cabang di depan Stasiun Kalibata. “Itu yang mengelola suami saya,” ungkap Alfi ah.

Asal-muasal Alfiah membuka warung soto dan garang asem di Manggarai karena ia meneruskan usaha dari kakaknya 3 tahun yang lalu. Saat pertama mengambil alih, warung tersebut sangat sepi.

Waktu itu, Alfi ah hanya menyiapkan 5 ekor ayam dalam sehari untuk garang asem dan juga soto. “Itu pun kadang enggak habis semua,.” tuturnya.

Lambat tapi pasti, orang-orang mulai banyak yang datang ke warungnya untuk mencari garang asem. Maklum, di Jakarta ini jarang bisa ditemui warung yang menyediakan soto kudus plus garang asem khas Kudus.

Dari cerita mulut ke mulut, warung makan Alfi ah mulai ramai.

Banyak yang datang dari jauh, seperti Bekasi atau Tangerang, hanya untuk menikmati soto kudus atau garang asem racikannya. “Sekarang banyak yang jadi langganan,” katanya.

Kedai Asri menempati lahan 5 meter x 5 meter saja. Di dalamnya terdapat 3 meja panjang dan kursi plastik yang bisa memuat sekitar 25 orang. Alfiah membuka warungnya dari pukul 7 pagi sampai jam 9 malam. “Ramainya pas jam makan siang,” kata Alfiah. Jadi, bersiaplah antre.

+++++
Satu Nama Banyak Versi

Ternyata tidak hanya lagu Indonesia Raya yang punya banyak versi. Untuk urusan ini, garang asem juga mempunyai beberapa versi. Yang paling terkenal adalah garang asem versi Kudus.

Garang asem ini berisi potongan ayam atau bisa juga diganti dengan jeroan ayam yang dibungkus dengan daun pisang. Menyertai daging ayam di dalam bungkusan tersebut biasanya hadir juga irisan cabe rawit dan juga irisan belimbing sayur. Kadang-kadang jika sukar mencari belimbing sayur, maka diganti dengan tomat hijau.

Yang mirip dengan garang asem versi Kudus adalah garang asem versi Yogyakarta dan versi Solo.

Perbedaannya, garang asem versi Jogja atau Solo itu ditambah dengan santan cair. Santan ini berfungsi memperkuat rasa gurih dalam garang asem.

Tapi, pada versi Kudus, gurih yang dihadirkan hanya berasal dari kaldu ayam. Kadang, untuk versi Jogja atau Solo, potongan daging ayam diganti dengan potongan daging sapi.

Versi lain adalah versi Pekalongan. Garang asem versi Pekalongan ini mempunyai komposisi yang sangat berbeda dengan versi Kudus, Jogja, maupun Solo, meskipun elemen utamanya sama, yaitu daging sapi. Garang asem versi Pekalongan ini malah mirip dengan rawon dari Jawa Timur.

Warna hitam yang berasal dari keluwak (pucung) mendominasi tampang garang asem versi Pekalongan.

Perbedaannya, jika rawon disajikan dengan toge mentah dan telur asin, sedangkan garang asem ala Pekalongan tanpa tambahan aksesori apa pun.

Masih ada satu lagi, yaitu garang asem versi Tuban, Jawa Timur. Garang asem ini tidak memakai potongan daging ayam atau sapi, tapi menggunakan ikan laut. Cita rasa yang dihadirkan mirip dengan mangut, karena memang bumbu yang dipakai sama. Beda keduanya, di garang asem ala Tuban ini ada tambahan rasa asam.

SOTO KUDUS ASRI
Jalan Padang Panjang,
Manggarai, Jakarta Selatan.
(Sebelah SPBU Padang Panjang)

3 responses to “Rasanya Garangdan Bikin Kesengsem

  1. garang asem pekalongan, rasa nya maknyuuusss…. kalo ke pekalongan mampir ke warung masduki di alun-alun. Tambah megono makin siiip…

  2. Di Manggarai, Kalibata , Joga , Solo sudah disebutkan. Kemudian yang di Surabaya dimana nih. Trims.

  3. aku pernah mampir diporwodadi, makan di warung. piligh garangasem, betul mak nyus……

Leave a comment