Capit-mencapit di Trotoar

Bukan cuma karena lokasinya di pesisir pantai jika Jakarta dipenuhi kedai seafood. Tapi, juga karena varian makanan dari hasil laut ini banyak peminatnya. Itu sebabnya, menu seafood menjadi lazim dihidangkan. Tidak hanya di warung kaki lima, namun juga menyeruak masuk ke restoran bintang lima.
Menu kedai atau warung seafood umumnya seragam. Mereka menyediakan olahan dari ikan, kerang, udang, cumi, atau kepiting. Bagi penggemar seafood, harga tidak menjadi pertimbangan utama. Pasalnya, sudah menjadi rahasia umum jika hidangan laut ini tidaklah murah. Kaum pelahap harus memiliki dompet tebal demi memuaskan seleranya.

Nah, kalau bukan harga, tentu rasalah yang menjadi penentu. Kendati sama-sama menyajikan hasil laut, cara pengolahan tiap warung sudah pasti berbeda. Sebagai konsumen, tentu kita harus rajin mencobai olahan juru masak tiap kedai tersebut. Mana yang olahannya paling cocok di lidah bakal rajin disambangi.

Soal rasa ini pula yang harus menjadi pertimbangan tatkala kaki kita melangkah ke sepanjang Jalan Gunung Sahari. Di trotoar Gunung Sahari, ke arah Ancol, banyak berdiri kedai seafood. Bahkan, lebih khusus lagi, mereka semua mengandalkan hidangan kepiting. Tentunya dengan cara pengolahan dan penyajian yang berbeda. Kembali ke lidah kita, tinggal pilih mana yang cocok.

Satu yang menonjol adalah warung bertuliskan Sarang Kepiting di spanduknya. Kedai ini menempati sebuah rumah bertingkat, namun sebagian meja pengunjungnya tumpah ke trotoar di pinggir jalan. Ada 45 meja kayu yang memenuhi ruang Sarang Kepiting. Hitung punya hitung, warung ini memuat 180 pengunjung saat penuh.

Layaknya kedai seafood, Sarang Kepiting yang didirikan oleh Bustrant Tajuddin tahun 1985 ini pun tak semata mengandalkan kepiting. Ada ikan dan cumi. Namun, sesuai dengan namanya, kebanyakan pengunjung datang untuk memburu kepiting. Bukan tanpa alasan jika Bustrant membanting setir dari pekerja di bidang konstruksi menjadi pengolah seafood di kaki lima. Dia mengaku mendapat inspirasi berjualan makanan dari Yuli, si anak bungsu. “Waktu SD, pagi-pagi dia bangun bikin roti onde-onde sama ibunya terus dijual di depan rumah,” kata Bustrant. Pria ini pun lantas berpikir akan mendirikan tenda untuk berdagang makanan di malam hari.

Sindiran berhoki dari Sarang Kepiting

Namun, Bustrant sempat bingung mau berjualan apa. Terlintas di pikirannya untuk menjajakan nasi uduk. Tapi, seorang sahabatnya menentang ide itu. “Kata dia, nanti peminatnya cuma orang pribumi,” tiru Bustrant. Sang teman menyarankan agar berjualan seafood supaya didatangi oleh kaum Tionghoa yang suka jajan dan memiliki daya beli lebih tinggi. “Saya bilang, boleh juga, meski sempat tersinggung karena saya pribumi,” ujarnya sambil tertawa.

Bermodal Rp 15.000, Bustrant membuka kedai seafood. Mulanya, kedai itu tidak bernama. Hari pertama buka, salah satu pembeli warung Bustrant adalah Thamrin, pengusaha di kawasan Glodok. Thamrin dan keluarganya memesan kepiting telur. Kebetulan, kisah Bustrant, hanya tinggal seekor kepiting telur ukuran kecil yang tertinggal. Kepiting mungil inilah yang mampir ke piring Thamrin. Keruan saja Thamrin protes. Bahkan, dia menyindir dan memberi julukan pada kedai belum bernama itu. “Namai saja Sarang Kepiting: anaknya di sarang, orangtuanya cari makan,” tiru Bustrant.

Barangkali karena hoki, Sarang Kepiting Bustrant makin ramai. Malah, dia terpaksa memboyong keluarganya pindah rumah dan mengorbankan bangunan tersebut untuk memperluas warung. “Terpaksa, demi income,” tutur Bustrant yang saat ini dibantu 35 karyawan.

Dalam sehari, Sarang Kepiting disambangi sekitar 200 penikmat olahan hasil laut. Bustrant mengaku menghabiskan rata-rata 60 kg kepiting sehari, 20 kg udang, dan sekitar 10 kg cumi. Adapun beras, menurut dia, tak habis sekarung atau 50 kg. Soalnya, penyantap seafood itu bukan seperti pembeli makanan biasa. “Kadang mereka pesan nasinya setengah, lauknya yang banyak,” kata Bustrant.

Cara Bustrant menyajikan menu kepiting, sebenarnya, tak berbeda dengan warung lain. Ada kepiting saus tiram dan saus padang. Namun, ada jenis sambal yang berbeda untuk tiap sajian seafood. Itulah sambal terasi dan kecap, yakni sambal goreng yang berminyak untuk menyantap ikan. Lalu, ada sambal basah untuk udang dan kerang. “Sambal ini tidak berminyak,” jelas Bustrant yang pernah mengirim sambal terasi ke Hongkong.

Harga masakan kepiting ditetapkan dalam satuan kilogram. Tentu saja, Anda tidak perlu memesan 1 kg pas. Karyawan Bustrant yang akan menghitungkan harganya. Tapi, patokannya begini, sekilogram kepiting Rp 60.000. Seporsi udang besar dijual Rp 20.000 dan ikan bawal Rp 15.000. Kalau berminat menyantap olahan Bustrant, datanglah antara pukul 17.00 sampai 24.00.

Lokasi pas untuk berburu kepiting

Tak jauh dari Sarang Kepiting, ada kedai Ameng Kalimantan. Menurut Ameng, yang lulusan fakultas teknik ini, warungnya didirikan pertengahan 1980. “Dulu saya sempat bekerja di restoran di Pasar Baru,” ujarnya. Karena ingin mandiri, ia pun nekat membikin warung seafood sendiri, apalagi, bekas bosnya adalah salah satu pemasok hasil laut yang besar. Kedai seafood ini lantas dinamai Seafood Ameng Kalimantan 99. Ada embel-embel Kalimantan, karena Ameng asli berasal dari pulau itu. Akan halnya 99, “Sejak dulu saya suka angka 99,” kata Ameng yang hobi masak.

Warung Ameng Kalimantan berkapasitas 60 orang. Dia menawarkan menu seafood: kerang, kepiting, udang, cumi, dan ikan. Variannya adalah dengan saus padang, saus tiram, asam manis, dan asam pedas. “Di sini andalannya kepiting dan kepiting telur,” tutur Ameng lagi. Dalam sehari, dia mengaku disambangi sekitar 150 orang. “Ramainya jam tujuh sampai jam sepuluh malam,” kata Ameng, yang dibantu delapan karyawan untuk melayani tamunya ini.

Harga satu porsi kerang yang diolah Ameng adalah Rp 10.000. Adapun satu ons udang besar Rp 10.000 dan satu ons kepiting telur Rp 9.000. “Kalau bukan telur harganya Rp 7.000,” cetus Ameng.

Masih ada seafood berbau Kalimantan lainnya di seputar Gunung Sahari, yakni Seafood Kalimantan 49. Judulnya memang seafood, tapi, “Yang paling laku di sini ya kepiting,” ujar Kodis Saputra, salah satu karyawan Seafood Kalimantan 49 yang mampu menampung sekitar 50 pengunjung sekali datang itu.

Sama seperti sejawatnya yang lain, warung ini pun tak beranjak dari sajian kepiting goreng, kepiting rebus, kepiting saus tiram, dan saus padang. Harganya Rp 9.000 per satu ons kepiting, untuk rebus atau goreng.

Nah, pilihan ada di tangan Anda, ingin dicapit oleh olahan kepiting yang mana?

Si Capit Petualang

Deretan warung seafood penjaja masakan kepiting yang nikmat itu memang berada tak jauh dari laut. Hitung punya hitung, tidak sampai 5 km dari warung mereka, laut terhampar luas. Jarak ke kampung nelayan, Muara Karang atau Muara Angke, juga tidak begitu jauh. Namun, jangan dikira jika si capit andalan warung-warung itu berasal dari keranjang pelelangan ikan Muara Karang.

Bustrant Tajuddin, pemilik Sarang Kepiting, mengaku lebih suka membeli kepiting dari luar Jawa. Pasalnya, dia percaya, pemasok dari jauh selalu memberikan kepiting yang berkualitas baik. “Kalau dekat, malah suka asal saja memberi kepiting,” cetusnya. Tak heran jika Bustrant rajin mendatangkan si capit dari Lampung, Bangka, Palembang, dan Kalimantan. Karena setiap hari disambangi sang pemasok, Bustrant harus selalu menghabiskan persediaan kepitingnya. “Soalnya, kalau mati kan harus dibuang,” tuturnya.

Seperti Bustrant, Ameng, pemilik Seafood Ameng Kalimantan 99, juga mendatangkan pasokan kepiting dari luar Jakarta. “Saya ambil dari mantan bos,” ujarnya. Konon, si pemasok mendatangkan kepiting dari Lampung dan Losari. Namun, kadang Ameng menyerah juga saat kepiting telur menjadi langka. “Kalau sudah begitu, terpaksa saya uber sendiri ke Muara Karang,” jelas Ameng.

2 responses to “Capit-mencapit di Trotoar

  1. lagi!! saya ngiler di depan komputer!! baca sekian banyak kata, tanpa gambar!! jadi ngebayangin sedniri….duduk di tepi jalan makan kepiting!!
    slruuuuuuuuuppppppp

  2. agung ginting

    MMMmmmmmmmm….. Keliatannya harus di jajah nih ‘Sarang Kepiting’ Jd ngilerrr, Sluurrrrppp!?? Krenyes.. Krenyes…

Leave a comment